Sabtu, 16 Maret 2013

Sistem Pembelajaran dan Pengalaman Belajar Mahasiswa di Universitas Indonesia

Meskipun dalam kurun waktu yang singkat, menjadi mahasiswa UI harus merupakan sebuah pengalaman yang memberi warna penting bagi setiap lulusan. UI harus mengembangkan sistem pembelajaran yang membangun kemampuan kognitif, kecakapan motorik, dan integritas moral/spiritual. Untuk itu, UI harus mengembangkan sistem pembelajaran dan pengalaman belajar mahasiswa dengan atribut sebagai berikut:
  1. Liberal arts/Humaniora
  2. Ubiquitous learning
  3. Multi-lintas disiplin
Studi humaniora dan seni telah memainkan peranan yang penting di dalam sejarah demokrasi dunia dan terutama sastra dan filsafat telah mengubah dunia.  Pendidik terkemuka dan pemimpin bangsa memahami bagaimana seni dan humaniora mengajarkan mahasiswa untuk berpikir kritis karena sangat dibutuhkan agar dapat menjadi manusia independen dan memiliki resistensi terhadap kekuasaan dan otoritas yang membabi buta.  Mahasiswa yang belajar sastra dan filsafat dapat membayangkan situasi “yang lain”.  Ini adalah kemampuan yang sangat penting untuk dimiliki agar demokrasi tetap terawat.  Kemampuan berimajinasi  memberikan alat untuk melihat manusia melalui berbagai lensa kemanusiaan dan memahami makna kesetaraan.  Sebuah bangsa yang demokratis namun tidak memiliki empati akan terus memelihara konflik, marjinalisasi dan stigmatisasi.  Ketika mahasiswa belajar di perguruan tinggi mereka perlu membangun kapasitas diri sebagai warga negara dunia dengan menawarkan pendidikan berkelas dunia.  Liberal arts dan studi humaniora merupakan kurikulum yang penting di negara maju dan menjadi kurikulum inti untuk berbagai bidang studi, apakah bisnis dan manajemen, teknik, kedokteran, dan sebagainya.  Pembangunan masyarakat dan ekonomi kita tidak akan bermakna tanpa adanya pemahaman prinsip-prinsip dasar tentang kemanusiaan, teori sosial dan keadilan.  Membangun sebuah bangsa yang sejahtera dan berkeadilan bukan hanya semata-mata menguatkan diri menjadi pusat ekonomi namun juga pusat budaya yang beradab.
Uraian di atas menekankan pentingnya kurikulum inti yang menopang semua disiplin ilmu agar mahasiswa dapat menjadi kritis dan sekaligus membentuk karakter dasar mahasiswa agar memiliki sensitifitas terhadap problem-problem sosial.  Namun penguatan kurikulum dasar saja tidak cukup untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21. Kondisi abad ini menuntut perubahan dalam pendidikan.  Ubiquitous learning merupakan cara belajar abad ke-21 yang mengubah dunia pendidikan.  Dewasa ini komputer memainkan peranan yang penting di dalam kehidupan sehari-hari kita.  Personal Computer (PC) dan komputer portabel telah menjadi bagian dari dunia pembelajaran, kerja dan komunitas kita.  Dengan demikian kehidupan manusia moderen kini telah menjadi digitalize dengan berbagai perangkat seperti hand phone, ipod, TV, kamera dan games semakin aksesibel dan murah.  Perubahan teknologi yang sangat cepat dewasa ini mempengaruhi dunia pendidikan.  Teknologi digital telah pula mengubah manusia secara sosial dan budaya.  Oleh sebab itu, tata kelas dan pembelajaran yang tradisional tidak lagi dapat dipertahankan dan diperlukan imajinasi baru untuk mengakomodasi cara belajar baru yang revolusioner yaitu Ubiquitous learning.  Ada cara pedagogi baru yang perlu diterapkan:
  1. Perlu mendobrak batasan-batasan pendidikan serta institusi-institusi yang tradisional dan kaku dengan pengalaman pendidikan yang lebih bergairah.  Ini membutuhkan investasi infrastruktur teknologi yang memadai dengan perangkat software dan pendidikan profesional untuk dosen agar lebih menguasai teknologi digital.
  2. Menjadikan mahasiswa aktif/agen dalam menimba ilmu.  Memberikan kesempatan untuk menguasai bahan kuliah seluas-luasnya tidak hanya terbatas pada “text book” dan membuat mahasiswa fasih melakukan penelitian yang bersifat  e-learning serta mengekspresikan pengetahuan yang mereka dapat lewat berbagai penggunaan multimedia.
  3. Memahami bahwa setiap mahasiswa memiliki cara belajar yang berbeda dan memiliki aspirasi serta potensi yang berbeda.  Universitas dapat memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat berpartsisipasi dan berkontribusi pada lingkungan belajar.  Investasi teknologi e-learning dapat mengakomodasi setiap perbedaan dan aksesibilitas.
  4. Akses pada informasi mengharuskan universitas untuk terbuka dalam memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian interdisiplin.  Di dalam era belajar Ubiquitous learning mahasiswa bukan lagi hanya diuji pada apa yang mereka ingat (sistim belajar mengingat) tetapi apa yang mereka dapat temukan sebagai pengetahuan yang baru (sistim belajar discovery).  Oleh sebab itu, melakukan ujian “tutup buku” merupakan cara yang lama dan perlu diubah.  Ujian bukan lagi upaya mengetes ingatan akan tetapi kemampuan merepresentasikan pengetahuan yang relevan bagi masyarakat luas dan menunjukkan kreatifitas yang tinggi.
  5. Ubiquitous computing mengajak untuk melakukan refleksi sosial yang dapat menciptakan “praktek komunitas” untuk mendukung lingkungan pembelajaran.   Sumber pengetahuan tidak lagi terbatas pada dosen akan tetapi dapat melibatkan lingkungan atau komunitas dimana mahasiswa berada bahkan masyarakat luar.  Upaya ini memastikan adanya pembangunan budaya yang kolaboratif dengan masyarakat luas.
Pengalaman belajar yang menawarkan penguatan studi humaniora sebagai kurikulum dasar serta Ubiquitous learning membutuhkan pendekatan pendidikan yang Multi-lintas disiplin.  Pendekatan ini memastikan mahasiswa dapat melakukan rancangan pendidikannya sendiri sehingga memenuhi kebutuhan pendidikan dan kariernya.  Multi-lintas disiplin bukan merupakan mata kuliah yang telah ditetapkan oleh program studi akan tetapi membebaskan mahasiswa untuk memilih disiplin lain yang ia butuhkan.  Misalnya seorang mahasiswa dapat memilih tiga matakuliah dari disiplin ilmu lain yang ia anggap penting untuk pengembangan studinya dan kariernya kelak, misalnya, mata kuliah bisnis, antropologi dan komunikasi.  Mata kuliah dari disiplin lain sebagai pilihan dengan mudah ia integrasikan pada disiplin mayornya.  Pendidikan abad ke-21 membutuhkan fleksibilitas sehingga dapat menghasilkan berbagai inovasi.  Pendidikan yang membatasi dan kaku melahirkan spesialisasi yang sempit dan tidak menjawab kekompleksan masalah sosial yang dihadapi di dalam masyarakat abad ke-21.  Multi-lintas disiplin membutuhkan penelitian lintas disiplin sehingga mahasiswa terekspose dengan metodologi yang plural serta formulasi pertanyaan-pertanyaan yang kompleks.  Pada abad ke-21 ini, mahasiswa membutuhkan pengetahuan multi-lintas disiplin  agar dapat menjawab dan siap menghadapi tantangan-tantangan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar