GUNUNG BROMO
semoga abu cepat berlalu!
semoga abu cepat berlalu!
Gunung Bromo berdiri di tengah dataran luas yang disebut “Laut
Pasir” (bahasa Jawa: Segera Wedi atau
bahasa indonesia: Lautan Pasir), sebuah cagar alam yang dilindungi sejak 1919.
Merupakan gunung berapi yang aktif dan bagian dari daerah Tengger dengan
ketinggian 2.329 m (7.641 kaki), Gunung Bromo memang bukan puncak tertinggi.
Kawasan yang paling terkenal dan tempat wisata yang paling banyak dikunjungi di
Jawa Timur ini memiliki kecantikan dengan hamparan pasir, yang membuatnya
berbeda dari lainnya. Sejak akhir tahun 2010, saat semuanya isi bumi sedang
bergemuruh di hampir seluruh kawasan Indonesia, Gunung Bromo yang pada tahun
2004 meletus, ikut batuk mengeluarkan isinya. Hujan abu menyelimuti gunung ini. Menurut sumber data,
Gunung Bromo tidak sebahaya ancaman erupsi Merapi. Letusan Bromo bersifat
freatik (uap, semburan udara, gas bercampur abu halus), bukan eksplosif
(letusan) seperti Gunung Merapi. Pada Januari 2011, letusan terjadi kembali
sehingga pada 23 Januari 2011, zona eksklusi (daerah rawan/berbahaya)
direkomendasikan untuk masyarakat sekitar. Selain keindahan panorama, Gunung
Bromo memiliki latar budaya yang juga menarik untuk dilihat oleh anda dan
keluarga. Pada hari keempat belas Festival Hindu Yadnya Kasada (upacara yang diadakan
setahun sekali, dibulan Kasodo (ke-10)
menurut penanggalan Jawa, yaitu sekitar Desember atau Januari di bulan Masehi
tepatnya saat bulan Purnama), masyarakat Tengger Probolinggo melakukan
perjalanan ke gunung untuk membawa persembahan, misalnya buah, beras, sayuran,
bunga, dan pengurbanan ternak kepada para dewa gunung dengan melemparkan mereka
kedalam kaldera gunung berapi. Asal usul ritual berdasarkan pada legenda abad
ke-15. Lama tidak memiliki anak, Roro Anteng dan Joko Seger memohon bantuan
para dewa gunung. Akhirnya, pasangan tersebut memiliki banyak anak. Para dewa
memberi mereka 24 anak, tetapi menetapkan bahwa anak ke-25, yang bernama
Kesuma, harus dilemparkan kedalam gunung berapi sebagai kurban. Permintaan dewa
mereka laksanakan. Tradisi melempar kurban ke dalam gunung berapi untuk
menenangkan dewa kuno ini berlanjut hingga sekarang dan disebut upacara Yadnya
Kasada. Meskipun penuh dengan bahaya, beberapa penduduk setempat mengambil
resiko naik-turun kebawah untuk mengantar barang yang dikorbankan. Mereka
meyakini hal ini bisa membawa keberuntungan. Entah memang kawah Gunung Bromo
sedang haus akan korban jiwa, entah alam memang sedang tidak bersahabat. Semoga
selimut abu cepat berlalu di Bromo...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar