Senin, 25 Februari 2013

GUNUNG BROMO
semoga abu cepat berlalu!


Gunung Bromo berdiri di tengah dataran luas yang disebut “Laut Pasir” (bahasa Jawa: Segera Wedi atau bahasa indonesia: Lautan Pasir), sebuah cagar alam yang dilindungi sejak 1919. Merupakan gunung berapi yang aktif dan bagian dari daerah Tengger dengan ketinggian 2.329 m (7.641 kaki), Gunung Bromo memang bukan puncak tertinggi. Kawasan yang paling terkenal dan tempat wisata yang paling banyak dikunjungi di Jawa Timur ini memiliki kecantikan dengan hamparan pasir, yang membuatnya berbeda dari lainnya. Sejak akhir tahun 2010, saat semuanya isi bumi sedang bergemuruh di hampir seluruh kawasan Indonesia, Gunung Bromo yang pada tahun 2004 meletus, ikut batuk mengeluarkan isinya. Hujan abu  menyelimuti gunung ini. Menurut sumber data, Gunung Bromo tidak sebahaya ancaman erupsi Merapi. Letusan Bromo bersifat freatik (uap, semburan udara, gas bercampur abu halus), bukan eksplosif (letusan) seperti Gunung Merapi. Pada Januari 2011, letusan terjadi kembali sehingga pada 23 Januari 2011, zona eksklusi (daerah rawan/berbahaya) direkomendasikan untuk masyarakat sekitar. Selain keindahan panorama, Gunung Bromo memiliki latar budaya yang juga menarik untuk dilihat oleh anda dan keluarga. Pada hari keempat belas Festival Hindu Yadnya Kasada (upacara yang diadakan setahun sekali, dibulan  Kasodo (ke-10) menurut penanggalan Jawa, yaitu sekitar Desember atau Januari di bulan Masehi tepatnya saat bulan Purnama), masyarakat Tengger Probolinggo melakukan perjalanan ke gunung untuk membawa persembahan, misalnya buah, beras, sayuran, bunga, dan pengurbanan ternak kepada para dewa gunung dengan melemparkan mereka kedalam kaldera gunung berapi. Asal usul ritual berdasarkan pada legenda abad ke-15. Lama tidak memiliki anak, Roro Anteng dan Joko Seger memohon bantuan para dewa gunung. Akhirnya, pasangan tersebut memiliki banyak anak. Para dewa memberi mereka 24 anak, tetapi menetapkan bahwa anak ke-25, yang bernama Kesuma, harus dilemparkan kedalam gunung berapi sebagai kurban. Permintaan dewa mereka laksanakan. Tradisi melempar kurban ke dalam gunung berapi untuk menenangkan dewa kuno ini berlanjut hingga sekarang dan disebut upacara Yadnya Kasada. Meskipun penuh dengan bahaya, beberapa penduduk setempat mengambil resiko naik-turun kebawah untuk mengantar barang yang dikorbankan. Mereka meyakini hal ini bisa membawa keberuntungan. Entah memang kawah Gunung Bromo sedang haus akan korban jiwa, entah alam memang sedang tidak bersahabat. Semoga selimut abu cepat berlalu di Bromo...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar